Teori Circle of Fifth Dari Johann Sebastian Bach

 

Gambar Johann Sebastian Bach diambli dari desserse.com

Bidikdotcom Pada abad ke 17 di Eropa, seorang tokoh musik dari Jerman bernama Johann Sebastian Bach  (1685-1750). menemukan teori yg dinamakan circle of fifth yang lazim di Indonesia dikenal dengan Lingkaran Kwint. 

ia adalah seorang Komponis dan Organis Jerman zaman Barok. dengan lagu gereja paling terkenal buatannya yakni Mass in B Minor (wikipedia)

Teori ini didasarkan pada siklus 12 titik nada dlm sebuah lingkaran jam, analogi dengan 12 nada yang terbentuk dari jarak interval kwint. 

Siklus 12 nada dlm lingkaran kwint yg beranjak dari nada C dapat diperoleh dengan menggerakkan nada C searah jarum jam melewati sebelas nada dalam jarak interval kwint, yang akan kembali ke nada C lagi, dengan nama B# (Bis). 

Demikian pula apabila  dari nada C digerakkan berlawanan dengan arah jarum jam menurut cara yg sama, maka akan kembali ke C lagi, dengan nama nada Dbb (Deses).

Setiap titik pada lingkaran kwint menjadi tonika atau nada dasar dari sebuah tangganada mayor atau minor dalam kres (#) atau mol (b). Dengan demikian teori lingkaran kwint menghasilkan 24 tonika untuk kres dan 24 tonika untuk mol. 

Munculnya 24 tonika dlm lingkaran kwint melahirkan tangganada diatonik bersarkan prinsip “Equal temperament”, yg menyamakan frekuensi antara nada C# dan Db, nada D# dan Eb, nada F# dan Gb, nada G# dan Ab, serta nada A# dan Bb. 

Oleh karena tannganada  diatonik terdiri dari mayor dan minor, maka jumlah nada dasar diatonik seluruhnya ada 48 tonika, 

yaitu 24 tonika mayor ( # / b ) dan 24 tonika tangga nada minor ( # / b ). Prinsip “equal temperament” menjadikan setiap nada memiliki frekuensi dengan standar yang baku mengacu pada standar diapason normal nada a’ = 440  Herts.

Standarisasi ini menjadikan nada a’ di manapun “memiliki” frekuensi yang sama Prinsip “equal temperament” 

juga mengakibatkan bahwa di antara dua jarak nada yang berjarak satu nada fapat disisipkan sebuah nada berjarak setengah nada dalam dalam interval yang sama, 

Sehingga menjadikan tangganada diatonik sebagai sistem nada yang dibangun di atas kandungan kromatisme, kandungan yang membedakan karakter tangganada diatonik dari berbagai modus yang terdapat pada budaya musikal lainnya, 

meski ada di antara modus itu yang memiliki susunan seperti tangganada mayor. 

Prinsip “equal temperament” juga menjadikan setiap tangganada berada dalam rumpun yang sama dengan 6 (enam)  tangga nada lainnya. 

Misalnya pada tangganada C mayor  terdapat 6 tangganada lainnya yang serumpun dalam hubungan: 

1. Dominan dengan G maior

2. subdominan dgn F maior

3. Relatif dr tonika dgn A minor

4. Paralel dr tonika dgn C minor

5. Relatif dr dominan dgn E minor

6. Relatif dr subdominan dgn D minor.

Rumpun tangga nada diatonik ini menjadi pedoman dasar bagi penyusunan teknik kontrapung khususnya dalam menentukan satu dominan dan tonika primer, serta enam dominan dan tonika sekunder. 

Penemuan Bach terhadap tangganada diatonik telah meletakkan dasar bagi lahirnya sistem tonal dalam musik Barat, sistem yang menetapkan tonika dalam setiap tangganada. 

Penemuan ini juga telah membuka jalan emansipasi musik instrumental terhadap dominasi musik vokal sejak manusia diciptakan. 

Bach menamakan karya instrumentalnya yang pertama ini sebagai “INVENTION” yang berarti PENEMUAN. Invention telah membuka jalan bagi lahirnya berbagai bentuk   karya instrumental sejati seperti fuga, sonata, konserto, dan simfoni. 

Keunggulan dari karya instrumental sejati terletak pada penyusunan sebuah tema dan berbagai variasi pengembangannya melalui kerangka alur melodi yang berbasis tangganada, serta kemampuan yang tidak terbatas dalam menggarap motif-motif secara sekuensial.

Penulis Tony Malumbot : Dosen Pasca Sarjana Universitas Negeri Makasar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *