BPJS Menyasar Kontestasi Ekonomi Berbalut Kenaikan Iuran

Kenaikan Iuran BPJS per 1 Juli 2020 tuai kritik Photo : bididkdot

Bidikdot.com Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) kembali menjadi pemberitaan hangat bahkan menjadi perdebatan dikalangan warga masyarakat atas kenaikan iuran yang secara langsung di sampaikan oleh Presiden Joko Widodo pekan kemarin. sebelumnya kenaikan BPJS disampaikan oleh Presiden pada pertengahan Ferbruari 2020 namun karena dilakuakan peninjauan kembali lewat Mahkamah Agung atas laporan serta keluhan  masyarakat diwakili para Advokat maka diputuskan bahwa BPJS tidak dinaikan.

Namun disayangkan gaungan untuk memberi perlindungan kesehatan kepada setiap warga negara jauh dari harapan BPJS tetap dinaikan. Memang dari kenaikan tersebut secara keseluruhan tidak diberlakukan hanya pemegang layanan jaminan Kelas 1 dan Kelas Dua saja tetapi bukan berarti mereka dianggap mampu tersebut tidak ada jeritan maupun keluhan didalam hati mereka apalagi kenaikan di berlakukan ditengah pandemi penyebaran Covid-19.

Baca Juga : Gampang Susah Lolos Seleksi Kartu Pra Kerja

Dilansir dari halaman okezone lewat Staf Ahli Kementerian Keuangan Bidang Pengeluaran Negara Kunta Wibawa Dasa menjelasakn bahwa iuran BPJS menurut
akturia (taksiran risiko keuangan) lebih tinggi dari kenaikan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Sebagaimana perhitungan akturia besaran iuran untuk pekerja bukan penerima upah (PBPU) kelas 1 ada diangka Rp 286.000 kelas 2 Rp 184.617 dan kelas 3 Rp 137.221 ungkap Kunta

Rencananya kenaikan iuran BPJS akan mulai diberlakukan pada 1 Juli 2020 bagi pemegang kartu JKN dan KIS khusus peserta PBPU dan PB dengan besaran masing-masing untuk kelas 1 menjadi Rp 150.000, kelas 2 Rp 100.000 ribu dan kelas 3 42.000. menurut Kunta dengan kenaikan
iuran maka BPJS akan mengalami surplus sekitar 1.76 triliun. ia menambahkan juga bahwa pihaknya tidak akan menetapkan besaran seperti dalam jumlah kenaikan tadi jumlah besaran tersebut disesuaikan dengan kemampuan bayar.

Meski dalam rincian porsi disesuaikan dengan kemampuan bayar namun tidak akan merubah nilai seandainya itu tetap naik.memang dalam kebijakan-kebijakan seperti penjelasan tadi akan membuat riak publik tertekan tetapi toh dalam aplikasinya wargalah yang akan menjadi sasaran atas buntut dari kenaikan tersebut. sebab beberapa kasus disaat BPJS dengan nominal normal ada warga masyarakat belum bisa memenuhi tanggung jawabnya apalagi jika akan naik.

BPJS terlihat menyasar bak kontestan dalam sebuah perlombaan demi alasan menyelamatkan ekonomi padahal penggelontoran dana cukup luar biasa di keluarkan untuk penanggulangan darurat Covid-19 sihampir 3 bulan ini. publik pun tidak habis pikir alasan-alasan kenaikan BPJS yang dibijaki oleh Pemerintah.

Memang disaat pandemi ini ada berbagai stimulus yang diberlakukan baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah tetapi seandainya jika pandemi ini selesai apakah kebijakan tadi akan ditarik lagi kan tidak mungkin. dari keputusan-keputusan setiap pemangku kepentingan belum singkron untuk menjalankannya terlihat dalam kebijakan layanan kesehatan nasional.

Suka atau tidak suka publik harus tetap menerima keputusan Pemerintah dalam kenaikan iuran nantinya akan menjadi tanggung jawab warga selanjutnya dan jika ini jalan dibutuhkan kinerja yang berkelanjutan secara konsisten antara pembuat kebijakan dan penyelenggara kebijakan sehingga kasus-kasus penolakan pasien untuk dilayani dirumah sakit tidak akan terulang lagi.

Baca Juga : Ruang Isolasi Gawat Darurat Corona Pertemuan Akhir Pasien Dan Keluarga

Pengalaman buruk sering terjadi atas layanan kesehatan dari BPJS ini karena ketidak singkronan antara penyelangara dan pembuat kebijakan apalagi didaerah-daerah sering terjadi penolakan karena alasan  BPJS belum dibayar ataupun sudah dibayar tetapi tidak terintegrasi kepada penyelanggara dan hal klasik lain membuat pandangan pada layanan ini sering diartikan miring.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *