Daerah  

Polemik Atribut Pasangan Calon Pilkada Menghias Gedung Gereja

Atribut paslon pilkada disala satu program pelayanan Gmim 
Foto : FB Jeivi M Wijaya

Bidikdotcom Pemilihan umum kepala daerah secara serentak akan digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada akhir tahun ini tepatnya  9 Desember 2020 termasuk di Sulawesi Utara yang akan memilih siapa yang akan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2021-2025 serta satu Kabupaten dan dua Kota Madya yang ikut dalam persaingan menjadi kepala daerah mendatang.

Meskipun belum ada pembukaan pendaftaran oleh KPU baik tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota namun hiruk pikuk para kandidat telah dan sementara dipromosikan oleh para relawan maupun para simpatisan pendukung calon baik secara ofline maupun online.

Baca Juga : Cerita Menarik Pengguna Jalan Lingkar Lembeh Saat Lagu Indonesia Raya Di Kumandangkan

Baik yang sudah direkomendasikan oleh partai pengusungnya maupun belum ada rekomendasi terlihat begitu percaya diri meramaikan bursa pemilihan akhir tahun ini. meskipun umpatan positif dan kritik pedas menggiring elektabilitas masing-masing pasangan calon.

Padahal pendaftaran calon kepala daerah nanti akan di buka pada 4 September 2020 mendatang tetapi para kandidat dari masing-masing calon khususnya di provinsi Sulut dianggap oleh pendukungnya resmi sebagai calon dan dipastikan jika mendaftar akan diterima dan semua sendi publik harus diperkenalkan para relawan maupun pendukung dari masing-masing calon.

Termasuk gereja menjadi bagian promosi dari para calon kepala daerah yang saat ini secara sah mendapat rekomendasi dari lembaga partainya untuk bertarung di pemilukada mendatang. cara inilah kemudian menjadi bahan diskusi bahkan kritik tajam di media sosial sehubungan dengan sala satu kegiatan pelayanan gereja yang menyertakan atribut pasangan calon seperti pada gambar.

Publik mempertanyakan kenetralan gereja sebagai wadah spiritual pada akhirnya ada di rana politik seperti yang terjadi pada kegiatan pembekalan pelayan khusus Gmim di wilayah Minahasa Utara pada Sabtu 22 Agustus 2020 dimana baliho yang terpampang didalam gedung gereja kegiatan berlangsung tertera dua calon pasangan pemilukada.

Bukan hanya itu ada sampul berisikan uang pengganti katanya transportasi bergambar pasangan calon. Hal ini menjadi viral dan perdebatan disala satu group medsos “Debat Sulut 2020” sampai hari ini 24/8/2020 lagi-lagi agama menjadi simpatik meraih perolehan suara menurut para netizen.

Seharusnya Agama dan khususnya lagi gereja menjadi netralisir utama dalam pergerakan kegiatan-kegiatan politik baik didalam maupun diluar gedung gereja demikian sala satu pesan netizen pada kolom komentar di group tersebut.

Tetapi perlu menjadi catatan bahwa apa yang ditampilkan dari gambar diatas bisa di iyakan meskipun kebenarannya perlu ditinjau kembali soal menyertakan gambar calon apakah bisa atau tidak tentu yang akan mengklarifikasinya pihak KPU setempat maupun Bawaslu.

Sebab komentar apapun dari pihak pendukung maupun para netizen di sosial media sehubungan dengan persaingan dalam promosi calon kepala daerah sebagaimana contoh pada gambar kegiatan sala satu denominasi gereja di Sulawesi Utara itu tidak akan berpengaruh apapun.

Kenapa demikian karena yang terjadi masih diluar ranah hukum peraturan pemilihan kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum. Jika tahapan seperti disampaikan tadi mulai dari pendaftaran hingga pada tahapan kampanye mungkin saja berbenturan dengan peraturan KPU kegiatan seperti ini.

Mengutip dari jurnalposmedia.com Mukhlis sala satu pemberi materi dalam diskusi beda buku yang berjudul “Manusia Politik dan Naluri Agama ” disponsori oleh Dema Fakultas Ushuluddin UIN Bandung pada 13 Oktober 2019 lalu mengatakan bahwa “Agama harus dibedakan dengan politik tapi jangan dipisahkan. Agama bicara soal keselamatan sedangkan politik bicara soal kekuasaan. politik tanpa nilai keagamaan maka politiknya akan jahat maka agama harus memasuki politik”, ujarnya

Bisa saja hal yang disampaikan oleh Mukhlis ini menjadi bagian yang diterapkan oleh penanggung jawab kegiatan pelayanan gereja tersebut sehingga lewat kegiatan gerejawi  para kandidat calon dicerahkan atas apa yang mereka berikan bukan sekedar mencari simpatik.

Jika benar-benar ajaran gereja masuk dalam politik dan diterima sebagai sesuatu mendidik maka politik itu akan menjadi berkat bukan “polemik”dan tentunya setiap pemimpin gereja atau Agama apapun itu memiliki kewajiban menyampaikan hal-hal luhur pada warganya ditengah politik yang semrawut dan tidak bermoral.

Baca Juga : Pemilukada 2020 Bitung Maurits Mantiri Dominan Di Sosmed

Jadi menurut anda bagaimana seharusnya mengatasi sesuatu hal seperti yang kita bahas ini? sepertinya tidak perlu dibuat repot selama tidak bertentangan dengan hukum dan perundangan yang berlaku di negara ini sah-sah saja dilakukan dan kedua hak seseorang untuk menentukan pilihannya tidak dapat diganggu gugat meskipun mahar menggiurkan menawarkannya. (bdc)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *