Bidikdotcom Polemik seputar Omnibus Law UU Cipta Kerja terus kebanjiran kritik tetapi juga tidak sedikit yang memberi saran agar undang-undang ini secepatnya di simpulkan DPR yang nantinya akan di setujui oleh Presiden Joko Widodo selaku perintis Omnibus Law tersebut.
Undang-Undang cipta kerja di ketuk palu oleh DPR pada 5/10/2020 kemarin yang langsung mendapat reaksi beragam bagi seluruh masyarakat tanah air khususnya kalangan buruh. para buruh menganggap bahwa undang-undang tersebut nantinya akan menyudutkan hak-hak dari kaum buruh bahkan ada beberapa pasal yang menghilangkan beberapa hak buruh biasanya di terima oleh buruh.
Baca Juga : Uni Emirat Arab Beri Nama Jalan di Abu Dhabi Presiden Joko Widodo
Meski pendapat ini belum dapat diakui kebenarannya tetapi aksi-aksi buruh tidak dapat di hentikan dalam menyampaikan aspirasi mereka menolak kehadiran Omnibus Law Cipta Kerja. Para buruh meminta agar DPR mengkaji kembali undang-undang cipta kerja tersebut sebagai revisi dari UU No 13 Tahun 2003.
Unjuk rasa penolakan produk Omnibus Law ini akan berlanjut hingga 02 November 2020 dimana pada tanggal 4/11/2020 publik akan menunggu keseriusan Pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo untuk menanda tangani perundangan tersebut.
Meski sangat di sayangkan aksi penolakan undang-undang cipta kerja ini di warnai dengan berbagai kericuhan dan pengrusakan fasilitas-fasilitas umum baik di Ibu Kota sendiri yakni Jakarta dan di beberapa daerah lainnya seperti Makasar dan Medan.
Pro dan kontra dari penerbitan undang-undang ini hanyalah gagasan sementara untuk mengalih isu agar publik dapat mempertimbangkan kinerja pemerintah sebagaimana janji saat kampanye memberi perlindungan kepada setiap warga negara untuk kesejahteraan.
Omnibus Law awalnya di sampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat pelantikannya pada 20 Oktober 2019 lalu sebagai Presiden terpilih di mana pemerintah akan memberlakukan kemudahan dalam berbagai kepengurusan perijinan mulai dari skala kecil hingga skala besar. Dalam arti dunia usaha tidak akan terlihat di persulit dalam mengurus ijin usaha maupun ekspor impor dengan penanganan jalur birokrasi lebih dominan termasuk dunia ketenaga kerjaan.
Menurut pemerintah dan publik atau masyarakat yang menyetujui undang-undang cipta kerja menilai bahwa aksi besar-besaran dari para buruh dan mahasiswa di tenggarai atas ketidak puasan orang-orang tertentu yang menilai pemerintahan Joko Widodo terlalu mementingkan kelompoknya yang sedang memerintah saat ini meskipun undang-undang cipta kerja tidak di lakukan pengecekan secara teliti apa-apa saja isi dari perundangan tersebut.
Juga di sinyalir ada para pengusaha yang merasa terancam posisinya sebab jika di berlakukannya undang-undang cipta kerja bisa saja zona nyaman selama ini mereka alami akan terganggu dengan kehadiran undang-undang yang menurut beberapa pakar hukum memiliki banyak positifnya ketimbang negatifnya.
Padahal bila publik dalam hal ini buruh dan mahasiswa lebih bijak menyikapi alasan-alasan dari penetapan undang-undang cipta kerja pada awal oktober lalu mungkin saja gesekannya akan tidak merembet ke hal-hal anarkis seperti di sampaikan tadi.
Hanya saja memang kurangnya transparansi DPR dan Pemerintah menyampaikannnya di hadapan masyarakat Indonesia secara umum menyangkut strukturisasi dari perundang-undangan ini.
Seperti mnenjadi polemik hingga hari ini sebelum menuju 8 hari penetapan sah dari Pemerintah undang-undang cipta kerja yakni publik mempertanyakan kenapa halaman bahasan (UUCK) sebelumnya hanya 800 lembar telah menjadi 1100 lembar.
Itulah sebabnya publik menduga ada pasal-pasal seludupan atas ketambahan lembaran dalam uji materi cipta kerja yang sebelumnya delapan ratusan menjadi hingga seribuan meski ini di banta oleh DPR dan Pemerintah dalam hal ini oleh Menteri Koordinator Perekonmian dan Perdagangan Airlangga Hartarto.
Dari pengecekan Pemerintah oleh Kesekretariatan Kabinet Pratikno ada pasal yang di keluarkan dari undang-undang cipta kerja yakni pasal (46) dimana pasal tersebut menunjuk pada pemberian keuntungan pada pengusaha tertentu. dan ini disinyalir sebagai produk gelap dititipkan pada Omnibus Law undang-undang cipta kerja. belum di ketahui alasan kenapa undang-undang ini dimasukan.
Omnibus Law Cipta Kerja tahun 2020 dianggap buruh penetapannya terkesan terburu-buru dan sarat kepentingan sehingga ketika ada unjuk rasa penolakan dari produk ini baru Pemerintah mengatakan akan di bahas lagi padahal sudah di tetapkan.
Dua fraksi di DPR yang menolak undang-undang cipta kerja ini ditetapkan yaitu Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) seharusnya dapat menengahi atas informasi beredear di tengah publik bukan menyampaikan pernyataan seolah-olah mereka bukan bagian dari parlemen meski secara pengambilan keputusan mereka tidak punya hak lebih dalam melaksanakan bantahan-bantahan.
Pernyataan dua fraksi ini di media sosial seakan-akan membuang bola dari sesama pemain di mana mereka ada dalam tim yang sama. bahkan terkesan Partai Demokrat mulai mengambil hati publik (curi star) untuk maksud-maksud tertentu dalam melirik persaingan di 2024 mendatang meski durasinya masih cukup panjang.
Apapun semua spekulasi entah positif maupun tidak menguntungkan publik menunggu keseriusan Pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo mengambil keputusan menjalankan atau tidak Omnibus Law Cipta Kerja.
Walaupun Presiden Joko Widodo harus menerima konsekuensi menyedikan dalam setiap keputusannya. Menandatangani berarti pemerintah menyetujui undang-undang cipta kerja 2020 di jalankan dengan resiko kepopuleran menurun dan berkurangnya kepercayaan. Jika Presiden tidak menyetujui undang-undang cipta kerja maka sama halnya sebagai bentuk penciteraan. Publik akan menunggu 8 hari lagi keputusan pemerintah.
Baca Juga : Protes Buruh Di Balik Palu Omnibus Law Cipta Kerja
Tetapi jika Presiden Joko Widodo menyetujuinya sebagai produk terbaru dari perundangan ketenaga kerjaan Indonesia tahun 2020 pemerintah membuka jalan bagi siapa saja yang akan memeriksa kembali isi undang-undang tersebut di Mahkamah Konstitusi. (bdc).